Tuesday, August 23, 2011

Sharing Panggilan untuk Misa KKI HKG 21 Agustus 2011







Selamat siang semuanya. Pertama-tama saya ucapkan banyak terima kasih kepada Romo John Indarta, SVD yang telah memberi kesempatan, untuk mensharingkan panggilan saya sebagai seorang suster Maryknoll.

Nama saya Anastasia Lindawati, dilahirkan di Jombang, menempuh pendidikan di sekolah Katolik sampai SMA dan dibaptis sewaktu kelas tiga SMA.

Sebagaimana saya tuliskan dalam buku saya “Menghitung Berkat” halaman 37: “Semasa kecil, saya sempat berpikir untuk menjadi sus­ter. Ketika kuliah, saya sering melakukan wawancara dengan para suster tentang kehidupan membiara. Tapi kemudian saya tidak berminat menjadi suster dengan pemikiran bahwa suster tidak bisa mempersembahkan Misa. Pekerjaan seorang suster bisa dilakukan dengan menjadi awam tetapi pekerjaan seorang imam tidak bisa dilakukan oleh seorang awam. Kalau saya seorang laki-laki, saya mau menjadi imam.”

Setamat kuliah, saya terlalu sibuk dengan pekerjaan saya, sampai akhirnya saya mengalami pertobatan kedua ketika mengikuti Retret Awal di Pertapaan Karmel Tumpang tahun 2004. Saya kemudian mengikuti Sekolah Evangelisasi Pribadi di Surabaya.

Ketika sedang duduk di depan gua Maria di Pertapaan Karmel Tumpang, di bulan Oktober 2005, saya mulai menangis ketika menyadari betapa Tuhan sangat memberkati saya, dan mulai berpikir tentang panggilan hidup saya. Saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaan empat bulan kemudian. Saya mulai mengunjungi beberapa komunitas biarawati, mengikuti beberapa retret dan Sekolah Evangelisasi se-Asia Pasifik di Australia.

Saya mengenal Maryknoll Sisters pada bulan Juni 2006, melalui dua orang imam yang pernah menjadi murid Maryknoll Sisters sewaktu masih frater di Bandung. Komunikasi saya dengan Maryknoll Sisters berlangsung melalui email, mengingat tidak ada biara Maryknoll Sisters di Indonesia sejak kemerdekaan Timor Leste.

Saya menjalani “live in” di Maryknoll Sisters Filipina selama empat bulan dan diterima untuk menjalani masa orientasi sebagai calon Maryknoll Sisters, sehingga saya berangkat ke Amerika Serikat pada bulan Juli 2007. Selama masa orientasi di Chicago, saya tinggal bersama para calon suster yang lain dan suster pendamping, bergiliran melakukan kegiatan sehari-hari, mengikuti kuliah, mengunjungi pasien di rumah sakit dan penderita HIV/AIDS, menjadi tenaga sukarela di pusat kehamilan, dll.

Saya mengucapkan kaul kemurnian, kemiskinan dan ketaatan, untuk tiga tahun pada tanggal 9 Agustus 2009 di New York, dimana saya berjanji untuk hidup sederhana, dan dengan ketaatan sebagai wanita selibat dalam komunitas, mengikuti Injil, dan berkomitmen untuk melayani misi universal Gereja. Saya mendapat penempatan pertama di regio Cina yang meliputi Cina, Hong Kong dan Macau. Saat ini saya sudah belajar Putonghua selama dua semester di Guangzhou dan akan melanjutkannya untuk dua semester lagi. Selama di Guangzhou, saya bersama PDKK “Hati Kudus Yesus” mengadakan kunjungan kepada penderita kanker di rumah sakit, penderita kusta dan orang-orang dengan cacat mental.

Bila melihat kembali perjalanan hidup religius saya, maka itu merupakan cerita tentang kesetiaan Allah terhadap janjiNya sebagaimana tertulis dalam Surat Rasul Paulus kepada umat di Roma 8: 28 “Kita tahu sekarang bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.” Saya sudah pernah memutuskan untuk tidak menjadi biarawati semasa kuliah tetapi ternyata Tuhan memanggil untuk kedua kalinya.

Yang menjadi tanda sebagai seorang suster Maryknoll adalah cincin dengan logo Chi Rho, yaitu dua huruf pertama dalam bahasa Yunani yang artinya Kristus, dan lingkaran yang melambangkan dunia. Motto Maryknoll Sisters adalah Membuat Cinta Allah Kelihatan, yang menjadi inspirasi motto saya, Mari kita melakukan hal sederhana dengan cinta yang sederhana untuk membuat Cinta Allah Kelihatan.

Setelah menyerahkan sebagian besar sekolah termasuk Maryknoll Convent School di Kowloon Tong, rumah sakit termasuk Our Lady of Maryknoll Hospital di Wong Tai Sin, kami melakukan berbagai jenis pelayanan di Afrika, Asia, Amerika dan Kepulauan Pasifik, seperti mengadakan latihan kepemimpinan, mengajar, merintis proyek penambah penghasilan, dan melayani penderita HIV/AIDS.

Dalam buku “Kasih Sahabat” yang saya tulis bersama Romo Lukas Batmomolin, SVD, saya menulis: Dalam refleksi untuk memilih tempat misi pertama, saya menuliskan sebagai berikut “Saya menyadari betapa kecil diri dan kemampuan yang dapat saya sumbangkan dalam pelayanan kepada misi universal Gereja, tetapi betapa besar saya disemangati untuk terus melangkah karena misi tidak semata-mata melakukan sesuatu untuk orang lain, tetapi juga berada bersama orang lain, mendengarkan, berbagi dan berdoa bersama mereka.” (halaman 47).

Semoga setelah mendengar sharing panggilan ini, minat untuk menjadi biarawan/wati muncul lagi, apapun konggergasinya karena saya mendengar beberapa orang mengatakan dulu pernah ingin menjadi biarawati. Setiap konggergasi memiliki kharisma masing-masing dan kita mempunyai kisah panggilan yang unik. Saya sendiri telah mengunjungi 8 biara termasuk Maryknoll, sebelum akhirnya bergabung dengan Maryknoll. Bagi yang berminat mengetahui mengenai Maryknoll, bisa melihatnya di website http://www.mklsisters.org/, atau bisa juga dengan melihat di blog saya http://anastasialindawatimm.blogspot.com/.

Saya akan mengakhiri sharing ini dengan kutipan dari Mother Mary Joseph pendiri Maryknoll Sisters “Setiap orang, dengan pekerjaannya masing-masing, dengan daya tariknya masing-masing, dipakai oleh Allah sebagai sarana khusus untuk melakukan pekerjaan tertentu untuk menyelamatkan jiwa tertentu.”

Terima kasih banyak untuk doanya bagi para imam dan biarawan/wati, mohon tidak berhenti mendoakan kami, terutama saya, supaya kami bisa menjadi imam dan biarawan/wati yang sebagaimana yang Tuhan inginkan dan semakin banyak yang terpanggil untuk menjadi imam, biarawan/wati. Amin.


Hong Kong, 21 Agustus 2011



Sr. Anastasia B. Lindawati, M.M.

Let’s do simple things with simple love to make God’s love visible

Sunday, August 21, 2011

Opini: Uskup Putera Daerah (updated on Jul 15, 2021)



Dalam pemilihan kepala daerah, baik di tingkat I maupun II, akhir-akhir ini, terekspos pula masalah putera daerah. Sebut saja pemilihan bupati di Timor Timur, yang akhirnya mengundang perbedaan pendapat antara Mendagri Yogie S. Memet dengan Gubernus Abilio. Bahkan sekarang ini Mendagri sedang menghadapi gugatan di PTUN atas terpilihnya Drs. Warsito Rasman, MA sebagai Gubernur Kalsel. Bagaimana dengan di hierarki?
Setelah menunggu sekitar satu tahun, akhirnya Keuskupan Bogor mendapat seorang Uskup baru. Ternyata yang diangkat oleh Vatikan adalah seorang imam Fransikan yang belum pernah melakukan karya pastoral di Keuskupan ini (HIDUP no. 30 tahun XLVIII).
Sebelumnya, J.S. Hadiwikarta diangkat sebagai Uskup Surabaya menggantikan Mgr. A.J. Dibyokarjono, Pr yang telah mengajukan pengunduran diri sebagai Uskup sejak dua tahun lalu. Vikjen KAS ini tentunya juga tidak pernah melakukan karya pastoral di Keuskupan ini karena beliau adalah imam milik Keuskupan Agung Semarang (HIDUP no. 27 tahun XLVIII).

LAMA DAN BUKAN PUTERA DAERAH
Ada yang sama dalam proses pengangkatan dua orang Uskup baru ini. Yang pertama, proses pengangkatan Uskup pengganti dapat dikatakan cukup lama dihitung dari waktu pengajuan pengunduran diri Uskup sebelumnya. Yang kedua, keduanya bukan putera daerah, artinya belum pernah melakukan karya pastoral di Keuskupan yang akan digembalakannya.
Lamanya proses pengangkatan Uskup pengganti tentunya bisa diartikan sebagai kehati-hatian pihak Vatikan dalam menentukan imam yang pas untuk jabatan ini. Apalagi bila mengingat syarat yang harus dipenuhi oleh seorang calon Uskup cukup berat, diantaranya: unggul dalam iman, hidup baik, saleh, semangat merasul, bijaksana, arif, mempunyai nama baik, minimal 35 tahun, minimal sudah 5 tahun ditahbiskan, mempunyai gelar doktor atau lisensiat dari lembaga pendidikan lanjut yang disahkan oleh Tahta Apostolik (bdk. KHK Kan. 378 ay. 2).
Sedangkan kehadiran non putera daerah bisa jadi disebabkan oleh tidak adanya imam yang memenuhi syarat sebagai calon Uskup, terlalu banyak imam yang memenuhi syarat sehingga muncul kuda hitam dari luar Keuskupan atau adanya permintaan khusus agar Uskup pengganti berasal dari luar Keuskupan. Ketiga hal ini tentunya juga bisa menjadi penyebab lamanya proses pengangkatan Uskup pengganti.
Tidak adanya imam yang memenuhi syarat sebagai calon Uskup bisa jadi disebabkan Uskup memang tidak menyiapkannya. Hal ini mungkin disebabkan tidak melihat arti pentingnya kaderisasi atau bisa juga karena tidak siap untuk mengundurkan diri.
Kitab Hukum Kanonik tampaknya menyadari arti penting kaderisasi, terbukti dalam Kan. 377 ay. 2 dinyatakan sekurang-kurangnya setiap tiga tahun para Uskup Propinsi Gerejawi atau dimana keadaan menganjurkan, Konferensi Wali Gereja, hendaknya dengan perundingan bersama dan secara rahasia menyusun daftar nama para imam, juga angota tarekat hidup bakti yang kiranya tepat untuk jabatan Uskup dan menyampaikannya kepada Takhta Apostolik. Tidak secara tegas dinyatakan bahwa calon Uskup harus putera daerah, tetapi patut diingat bahwa yang paling mengenal para imam, apalagi imam praja, tentunya Uskupnya sendiri. Apalagi KHK juga tetap mengakui hak para Uskup untuk menyampaikan sendiri kepada Takhta Apostolik (bdk. KHK Kan. 377 ay. 2).
Bila imam yang memenuhi syarat sebagai calon Uskup terlalu banyak, maka ini merupakan prestasi tersendiri bagi Keuskupan tersebut. Diantara sekian banyak itu tentunya Vatikan dapat dengan jeli melihat yang paling baik untuk Keuskupan tersebut, dengan menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada. Tetapi bila justru ini malah memunculkan kuda hitam (?) dari luar Keuskupan tentunya patut disayangkan, karena bukan tidak mungkin akan muncul tarik menarik antara berbagai kepentingan yang tentunya akan menyulitkan bagi Uskup pengganti yang masih awam dengan peta situasi Keuskupan. Tenaga-tenaga yang berkualitas ini tentunya bisa dialihkan ke Dewan Imam atau Dewan Penasehat untuk membantu Uskup memimpin Keuskupan (bdk. KHK Kan. 495-502).
Permintaan untuk mendapatkan Uskup pengganti dari luar Keuskupan tentunya mengandaikan adanya hubungan yang kurang serasi diantara para imam, baik praja maupun konggregasi, yang berkarya di Keuskupan tersebut. Ini tentunya merupakan PR bagi Uskup pengganti sebagai pimpinan tertinggi dari Keuskupan.

BELAJAR DARI PENGALAMAN
Dengan belajar dari pengalaman, maka penyiapan para imam sebagai calon Uskup tentunya harus sejak dini dilakukan, apalagi hal ini juga diamanatkan oleh KHK, yang memuat ketentuan-ketentuan untuk hidup bersama di lingkungan umat beriman Kristiani.
Untuk ini tentunya dibutuhkan kejelian dari Bapa Uskup. Tidak harus imam praja, walaupun Mgr. A.J. Dibjokarjono, Pr menyatakan bahwa imam konggergasi statusnya diperbantukan dalam Keuskupan sehingga bila sewaktu-waktu Konggergasi memerlukan tenaga, mereka bisa ditarik (HIDUP no. 27 tahun XVLIII) karena KHK sudah mengatur biarawan yang diangkat untuk jabatan Uskup (lih. KHK Kan. 705-705)
Penyiapan calon ini tentunya tidak dengan menganak-emaskan imam-imam yang memenuhi syarat. Hal ini tentunya cukup dilakukan dengan memberikan kesempatan untuk studi bagi yang berminat dan mampu, mengadakan studi bersama atau lebih dikenal dengan on going formation, atau upaya-upaya lain yang memungkinkan para imam-nya semakin unggul dalam iman, saleh, bijaksana, arif, semangat merasul dan hidup baik.
Bisa jadi juga nama-nama imam yang memenuhi syarat tidak selalu sama dalam kurun waktu tiga tahun. Begitu banyak hal yang bisa berubah seiring dengan perubahan jaman. Waktu yang akan menguji kelayakannya untuk menjadi Uskup terpilih.
Sebagai bagian dari umat Allah yang dipimpin oleh seorang Uskup yang mempunyai kewenangan otonom berkat kuasa legislatif, yudikatif dan eksekutif yang diembannya, maka harapan umat untuk mendapatkan seorang putera daerah sebagai gembalanya tentunya tidak berlebihan. Bila kemandirian sebuah Keuskupan juga bisa diukur dari jumlah pelayan pastoral milik Keuskupan (imam praja), maka kemampuan untuk menyediakan sendiri calon Uskupnya tentunya juga bisa dilihat sebagai sebuah kemandirian.
Akhirnya, kalau KAS mampu meng”ekspor” dua orang imam prajanya untuk menjadi Uskup di Keuskupan lain (Bandung dan Surabaya), mengapa Keuskupan lain tidak mampu bahkan untuk Keuskupannya sendiri?

A.B. Lindawati P. (Pengamat masalah sosial kemasyarakatan dan gerejani, Mojoagung)
P.S. Dimuat di Mingguan Hidup no. 34 Tahun XLVIII, 28 Agustus 1994

Ternyata, Uskup pun Perlu Dikader

 

Sebagai bagain dari umat Allah yang dipercayakan kepada seorang Uskup, ternyata pendirian sebuah keuskupan membutuhkan waktu yang panjang.  Diawali dengan kedatangan misionaris, biasanya asing, di sebuah tanah misi.  Dengan bertambahnya jumlah umat beriman, maka didirikanlah Prefektur Apostolik.  Sebelum menjadi keuskupan, perlu menjadi Vikariat Apostolik terlebih dahulu.

Dan karena imam-iman yang berkarya di keuskupan baru itu adalah iman-iman kongergasi, maka tidaklah mengherankan bila yang diangkat menjadi Uskup pertama adalah imam kongergasi.

Keuskupan baru ini tentunya tidak bisa selamanya tergantung pada kongergasi, yang telah dengan baik hati menyerahkan iman-imamnya untuk keuskupan, maka mulailah muncul iman-imam praja yang membaktikan seluruh hidupnya bagi keuskupan tersebut kecuali kasus khusus.

Kehadiran imam-imam praja ini tentunya harus dipandang sebagai upaya untuk mandiri dalam hal tenaga pastoral.   Dan seperyi yang dikatakan oleh Mgr. Aloysius Dibjokarjono, Pr bahwa imam-imam kongergasi statusnya diperbantukan di keuskupan sehingga bisa ditarik sewaktu-waktu bila kongergasi memerlukan tenaga (Hidup no. 27 tahun XLVIII).  Sehingga akan lebih baik lagi bila keuskupan juga mampu menyiapkan imam (imam) nya sebagai calon Uskup.

Maka kehadiran Mgr. J.S. Hadiwikarta, Pr-terlepas dari masalah berbobot atau tidak, berpengalaman atau tidak-sebagai Uskup Surabaya dapat dipandang sebagai suatu kemunduran bagi keuskupan ini, karena beliau di”pinjam” dari Keuskupan Agung Semarang (KAS).  Kalau di masa Mgr. J. A.M.  Klooster, CM masih ada seorang Aloysius Dibjokarjon, Pr sebagai calon uskup-yang ternyata kemudian diangkat menjadi Uskup Surabaya oleh Paus Yohanes Paulus II-meski beliau telah lanjut usia dan sakit-sakitan, maka kini yang muncul adalah seorang praja KAS.

 

Perlu Dikader Sejak Sekarang

Belajar dari pengalaman ini, sekali lagi terlepas dari masalah kualitas, maka sudah seharusnyalah Mgr. J.S. Hadiwikarta, Pr sejak sekarang menyiapkan imam-imamnya agar ada yang pantas menjadi calon Uskup.   Dan ini tentunya terutama untuk para imam-imam praja, “milik” Keuskupan.  Apalagi Kitab Hukum Kanonik meminta pengajuan nama para imam yang pantas untuk jabatan Uskup setiap tiga tahun (lih. KHK Kan. 377).

Perlu dilakukan sejak sekarang karena untuk dapat memenuhi syarat sebagai calon Uskup harus memenuhi beberapa krteria, antara lain: unggul dalam iman, hidup baik, berumur minimal 35 tahun, minimal sudah 5 tahun ditahbiskan serta mempunyai gelar doktor atau lisensiat pada lembaga pendidikan lanjut yang disahkan Takhta Apostolik (lih. KHK Kan. 378).

Ini tentunya bukan hasil proses satu dua tahun, tetapi bertahun-tahun dan terus menerus.

Tidak menjadi masalah bila nama yang muncul sebagai calon tidak selalu sama setiap tiga tahun.  Waktu dan tentunya bimbingan Roh Kudus yang akan memunculkan calon yang benar-benar pantas untuk jabatan ini, sebagai pengganti para rasul.

Untuk memunculkan imam-imam yang memenuhi kritera ini bisa dilakukan dengan memberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk studi lanjut, tentunya dengan dana keuskupan, atau dengan studi bersama (on going formation)

Meskipun terutama memberi kesempatan kepada para umam praja untuk mengolah hidup rohaninya agar bisa memenuhi apa yang diamanatkan oleh KHK Kan. 378, tentunya tidak menutup kemungkinan juga bagi para imam kongergasi untuk mejadi calon Uskup karena KHK juga mengatur hal ini (lih. KHK KAN. 705-707).

Akhirnya, selamat datang dan selamat berkarya Mgr. J.S. Hadiwikarta, Pr!  Semoga sungguh menjadi guru dalam ajaran, imam dalam ibadat suci dan pelayan kepemimpinan!

 

Pengirim: A.B. Lindawati P


Thursday, August 18, 2011

Berjalan Bersama Sang Sabda 15 Okt 2011



(Rm 4: 13-16,18, Mzm 105: 6-9, 42-43, Luk 12: 8-12)

8Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Anak Manusia juga akan mengakui dia di depan malaikat-malaikat Allah. 9Tetapi barangsiapa menyangkal Aku di depan manusia, ia akan disangkal di depan malaikat-malaikat Allah. 10Setiap orang yang mengatakan sesuatu melawan Anak Manusia, ia akan diampuni; tetapi barangsiapa menghujat Roh Kudus, ia tidak akan diampuni. 11Apabila orang menghadapkan kamu kepada majelis-majelis atau kepada pemerintah-pemerintah dan penguasa-penguasa, janganlah kamu kuatir bagaimana dan apa yang harus kamu katakan untuk membela dirimu. 12Sebab pada saat itu juga Roh Kudus akan mengajar kamu apa yang harus kamu katakan.''

Yesus sudah menasehatkan bagaimana kita harus bersikap ketika menghadapi penganiayaan karena mengakui namaNya. Roh Kudus sendiri yang akan mengajarkan apa yang harus dikatakan.

Penganiayaan sebagai murid Kristus masih terjadi sampai sekarang di beberapa tempat, mulai dari pembatasan pembangunan Gereja sampai pengaturan oleh pemerintah terhadap hirarki Gereja.

Pengajaran Roh Kudus tentunya bisa diperoleh dari hubungan pribadi dengan Allah sendiri, yang baru akan tercipta ketika kita sungguh meluangkan waktu untuk membina hubungan pribadi itu. (abl)

Pertanyaan Refleksi:

1. Bagaimana saya menanggapi masalah penganiayaan karena iman kepada Yesus Kristus?

2. Apa yang bisa saya lakukan untuk meningkatkan hubungan pribadi dengan Allah?

Berjalan Bersama Sang Sabda 14 Okt 2011



(Rm 4: 1-8, Mzm 32: 1-2, 5, 11, Luk 12: 1-7

1Sementara itu beribu-ribu orang banyak telah berkerumun, sehingga mereka berdesak-desakan. Lalu Yesus mulai mengajar, pertama-tama kepada murid-murid-Nya, kata-Nya: ''Waspadalah terhadap ragi, yaitu kemunafikan orang Farisi. 2Tidak ada sesuatu pun yang tertutup yang tidak akan dibuka dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi yang tidak akan diketahui. 3Karena itu apa yang kamu katakan dalam gelap akan kedengaran dalam terang, dan apa yang kamu bisikkan ke telinga di dalam kamar akan diberitakan dari atas atap rumah. 4Aku berkata kepadamu, hai sahabat-sahabat-Ku, janganlah kamu takut terhadap mereka yang dapat membunuh tubuh dan kemudian tidak dapat berbuat apa-apa lagi. 5Aku akan menunjukkan kepada kamu siapakah yang harus kamu takuti. Takutilah Dia, yang setelah membunuh, mempunyai kuasa untuk melemparkan orang ke dalam neraka. Sesungguhnya Aku berkata kepadamu, takutilah Dia! 6Bukankah burung pipit dijual lima ekor dua duit? Sungguhpun demikian tidak seekor pun dari padanya yang dilupakan Allah, 7bahkan rambut kepalamu pun terhitung semuanya. Karena itu jangan takut, karena kamu lebih berharga dari pada banyak burung pipit.

Injil hari ini menceritakan tentang betapa berharganya kita manusia di mata Allah, sampai rambut di kepala kita pun terhitung.

Terkadang tidak mudah menyadari penyertaan Allah dalam hidup kita, terutama karena besarnya rasa egoisme kita. Kita merasa apa yang kita miliki, adalah hasil upaya kita sendiri.

Disadari atau tidak, diakui atau tidak, Allah selalu menyertai kita baik melalui orang-orang yang dihadirkan dalam hidup kita, baik yang kita sukai maupun yang tidak kita sukai, maupun lewat peristiwa hidup sehari-hari. (abl)

Pertanyaan Refleksi:

1. Apakah saya bisa menyadari penyertaan Allah dalam hidup saya sehari-hari?

2. Bagaimana saya bisa menyadari dan mengakui penyertaan Allah dalam hidup saya sehari-hari?

Berjalan Bersama Sang Sabda 13 Okt 2011



(Rm 3: 21-30a, Mzm 130: 1-6, Luk 11: 47-54)

47Celakalah kamu, sebab kamu membangun makam nabi-nabi, tetapi nenek moyangmu telah membunuh mereka. 48Dengan demikian kamu mengaku, bahwa kamu membenarkan perbuatan-perbuatan nenek moyangmu, sebab mereka telah membunuh nabi-nabi itu dan kamu membangun makamnya. 49Sebab itu hikmat Allah berkata: Aku akan mengutus kepada mereka nabi-nabi dan rasul-rasul dan separuh dari antara nabi-nabi dan rasul-rasul itu akan mereka bunuh dan mereka aniaya, 50supaya dari angkatan ini dituntut darah semua nabi yang telah tertumpah sejak dunia dijadikan, 51mulai dari darah Habel sampai kepada darah Zakharia yang telah dibunuh di antara mezbah dan Rumah Allah. Bahkan, Aku berkata kepadamu: Semuanya itu akan dituntut dari angkatan ini. 52Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat, sebab kamu telah mengambil kunci pengetahuan; kamu sendiri tidak masuk ke dalam dan orang yang berusaha untuk masuk ke dalam kamu halang-halangi.'' 53Dan setelah Yesus berangkat dari tempat itu, ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi terus-menerus mengintai dan membanjiri-Nya dengan rupa-rupa soal. 54Untuk itu mereka berusaha memancing-Nya, supaya mereka dapat menangkap-Nya berdasarkan sesuatu yang diucapkan-Nya.

Pemberian berupa apapun, tanggungjawab dan kepercayaan misalnya, mendatangkan tuntutan seturut besarnya pemberian. Semakin besar tanggungjawab yang diberikan, semakin besar tuntutan yang harus dipenuhi.

Seringkali tidak mudah untuk menilai kesetaraan antara besarnya tanggungjawab atau kepercayaan yang diterima dengan tuntutan yang harus dipenuhi.

Rasa syukur atas pemberian yang diterima akan membantu untuk memenuhi tuntutan yang harus dipenuhi dengan senang hati. (abl)

Pertanyaan Refleksi:

1. Apakah saya bisa mensyukuri setiap pemberian yang saya terima, termasuk ketika tidak sesuai dengan harapan?

2. Apakah tuntutan terbesar yang harus saya penuhi atas pemberian diri Yesus untuk penebusan saya?